Majapahit di Panggung Dunia – Sebuah Analisis Komparatif Peradaban Kuno

Seni Memerintah Imperium: Dari Satrapi Persia hingga Birokrasi Majapahit

Setiap kekaisaran besar dalam sejarah kuno menghadapi dilema universal yang sama: bagaimana memproyeksikan otoritas pusat atas wilayah yang luas dan populasi yang beragam tanpa memicu pemberontakan. Solusi yang mereka kembangkan—apakah itu sistem vasal Majapahit, satrapi Persia, provinsi Romawi, atau birokrasi Tiongkok—mewakili jawaban yang berbeda untuk masalah fundamental ini. Masing-masing merupakan keseimbangan yang rumit antara kontrol terpusat dan pemberian otonomi lokal terbatas. Perbandingan ini mengungkapkan bahwa tidak ada satu cara “terbaik” untuk menjalankan sebuah imperium, hanya ada strategi yang berbeda untuk mengelola ketegangan yang melekat antara pusat dan pinggiran.

 

Model Administrasi Terpusat vs. Desentralisasi

Majapahit menerapkan sistem pemerintahan yang menggabungkan kontrol langsung di wilayah inti (Jawa Timur) dengan sistem negara vasal atau bawahan di wilayah yang lebih jauh. Para penguasa lokal diizinkan untuk tetap berkuasa selama mereka mengakui kedaulatan Majapahit dan membayar upeti secara teratur. Model ini dapat dibandingkan dengan beberapa sistem imperial lainnya:   

  • Kekaisaran Persia Achaemenid: Di bawah Darius Agung, kekaisaran dibagi menjadi provinsi-provinsi yang disebut satrapi, masing-masing dipimpin oleh seorang gubernur atau satrap. Sistem ini sangat efisien, dengan para satrap memiliki otonomi lokal yang cukup besar namun tetap diawasi oleh inspektur kerajaan yang dikenal sebagai “mata dan telinga raja”. Infrastruktur seperti Jalan Raya Kerajaan memastikan komunikasi yang cepat antara pusat dan provinsi, memperkuat kontrol terpusat.
  • Kekaisaran Romawi: Romawi mengelola wilayah taklukannya melalui sistem provinsi yang dipimpin oleh gubernur yang ditunjuk oleh Senat atau Kaisar. Didukung oleh legiun-legiun militer, para gubernur ini menegakkan hukum Romawi dan memungut pajak. Namun, Romawi juga cerdik dalam mengkooptasi elite lokal, menawarkan kewarganegaraan Romawi sebagai imbalan atas loyalitas, sebuah model integrasi dan asimilasi yang efektif.   
  • Tiongkok Kuno: Dinasti-dinasti Tiongkok, terutama sejak era Qin dan Han, mengembangkan sistem birokrasi yang sangat terpusat dan meritokratis. Pejabat pemerintah dipilih melalui ujian, dan seluruh administrasi diatur oleh hukum dan peraturan yang seragam. Legitimasi sistem ini didasarkan pada konsep “Mandat Langit” (Tian Ming), sebuah gagasan filosofis bahwa hak seorang kaisar untuk memerintah diberikan oleh surga dan dapat dicabut jika ia memerintah dengan tidak adil, yang memberikan justifikasi bagi pergantian dinasti. 

Peran Raja dan Legitimasi Kekuasaan

Sumber otoritas penguasa juga bervariasi. Raja-raja Majapahit dipandang sebagai titisan dewa, perwujudan sinkretis dari Siwa dan Buddha, yang memberikan mereka legitimasi ilahi. Hal ini memiliki kesejajaran dengan Firaun Mesir, yang dianggap sebagai dewa-raja yang hidup di bumi, penghubung antara dunia manusia dan dunia ilahi. Sebaliknya, otoritas Kaisar Romawi berevolusi dari posisi princeps atau “warga negara pertama” di era Republik awal menjadi seorang penguasa absolut yang sering kali didewakan setelah kematiannya, sebuah proses yang lebih bersifat politik daripada teologis murni. 

Kekuatan Militer: Legiun Romawi, Pasukan Bhayangkara, dan Strategi Perang Kuno

Struktur militer sebuah imperium adalah cerminan langsung dari lingkungan geopolitiknya. Perbandingan antara kekuatan militer Majapahit dan Legiun Romawi menunjukkan bagaimana dua kekuatan besar mengembangkan mesin perang yang sangat efektif, namun secara fundamental berbeda, karena masing-masing dirancang untuk mengatasi tantangan geografis yang unik. Kekaisaran Romawi yang berbasis daratan menuntut infanteri berat yang disiplin dan terikat pada jaringan jalan, sementara kekaisaran maritim Majapahit membutuhkan kekuatan laut yang fleksibel dan dominan. Efektivitas militer, dengan demikian, bersifat relatif; Legiun Romawi adalah penguasa perang darat, sedangkan angkatan laut Majapahit adalah penguasa perang kepulauan.

Organisasi Militer

Majapahit memiliki kekuatan militer yang terdiri dari angkatan darat dan angkatan laut yang kuat. Pasukan elite pengawal raja, yang dikenal sebagai Bhayangkara, merupakan unit yang sangat terlatih dan setia, yang memainkan peran penting dalam menumpas pemberontakan dan menjaga keamanan istana. Namun, tulang punggung proyeksi kekuatan Majapahit adalah angkatan lautnya yang tangguh. Sebaliknya, kekuatan utama Kekaisaran Romawi adalah Legiun-nya. Legiun adalah unit infanteri berat yang sangat terorganisir, terdiri dari prajurit profesional yang menjalani pelatihan keras dan disiplin ketat. Mereka dikenal karena peralatan standarnya, seperti baju zirah lorica segmentata, perisai scutum, dan pedang pendek gladius, serta kemampuan mereka untuk membangun kamp berbenteng setiap malam saat berkampanye.  

Peran Militer dalam Ekspansi

Kedua imperium menggunakan kekuatan militer sebagai mesin utama ekspansi. Legiun Romawi menaklukkan wilayah yang luas di seluruh Eropa, Afrika Utara, dan Timur Tengah melalui pertempuran darat yang menentukan. Taktik formasi mereka yang canggih, seperti testudo (formasi kura-kura) untuk melindungi dari proyektil, memberi mereka keunggulan signifikan di medan perang. Sementara itu, ekspansi Majapahit untuk menyatukan Nusantara sangat bergantung pada kekuatan maritimnya. Penaklukan antar-pulau, seperti invasi ke Bali atau serangan ke Sumatra, hanya mungkin dilakukan dengan supremasi laut yang memungkinkan pengerahan pasukan melintasi perairan. 

Logistik dan Infrastruktur Militer

Keberhasilan jangka panjang Romawi sangat didukung oleh kejeniusan mereka dalam rekayasa militer. Mereka membangun jaringan jalan raya yang luas di seluruh kekaisaran, yang memungkinkan pergerakan legiun yang cepat dan efisien, serta akuaduk untuk memasok air ke kota-kota dan pangkalan militer. Infrastruktur ini adalah tulang punggung logistik mereka. Majapahit, yang beroperasi di lingkungan kepulauan, mengandalkan jaringan logistik yang berbeda. Armada lautnya tidak hanya berfungsi sebagai kekuatan tempur tetapi juga sebagai sistem transportasi utama, sementara pelabuhan-pelabuhan di sepanjang pesisir dan sungai berfungsi sebagai pangkalan dan titik pasokan strategis.   

Inovasi dan Teknologi yang Mengubah Dunia

Kemajuan sebuah peradaban kuno sering kali diukur dari inovasi teknologi dan pencapaian ilmiahnya. Perbandingan antara Majapahit, Romawi, Tiongkok, dan India (era Gupta) menunjukkan bahwa setiap peradaban mengembangkan keunggulan di bidang yang berbeda, didorong oleh kebutuhan geografis, tuntutan ekonomi, dan tradisi intelektual mereka. Inovasi-inovasi ini tidak hanya membentuk nasib imperium mereka sendiri tetapi juga meninggalkan warisan yang mendalam bagi peradaban dunia.

 

Rekayasa dan Arsitektur

Majapahit menunjukkan keahlian yang luar biasa dalam rekayasa hidrolik dan arsitektur bata. Pembangunan sistem kanal, waduk seperti Kolam Segaran, dan petirtaan seperti Candi Tikus menunjukkan pemahaman mendalam tentang manajemen air, yang sangat penting untuk pertanian dan kehidupan perkotaan di ibu kota Trowulan. Ini dapat disejajarkan dengan rekayasa sipil monumental Kekaisaran Romawi. Bangsa Romawi adalah ahli dalam membangun akuaduk untuk mengalirkan air bersih ke kota-kota dari jarak puluhan kilometer, serta membangun jaringan jalan raya yang kokoh, jembatan, dan bangunan ikonik seperti Koloseum, yang dimungkinkan oleh penguasaan mereka atas beton dan konstruksi lengkung.  

Meskipun catatan tentang sains Majapahit terbatas, kontribusi peradaban lain pada periode yang sama sangatlah signifikan. Kekaisaran Gupta di India (sekitar 320–550 M) mengalami “Zaman Keemasan” dalam bidang matematika. Para cendekiawan seperti Aryabhata dan Brahmagupta mengembangkan konsep angka nol, sistem desimal, dan membuat kemajuan besar dalam aljabar dan trigonometri. Penemuan ini merevolusi perhitungan dan menjadi dasar bagi matematika modern di seluruh dunia. 

Sebagai kekuatan maritim, Majapahit mengembangkan teknologi perkapalan yang canggih, seperti kapal jong besar yang dibangun dengan teknik pasak kayu. Di belahan dunia lain, Tiongkok kuno, terutama pada masa Dinasti Han dan Song, menghasilkan serangkaian penemuan yang mengubah dunia. Penemuan kertas merevolusi pencatatan dan penyebaran informasi, kompas magnetik mengubah navigasi laut, dan bubuk mesiu mengubah peperangan untuk selamanya. Inovasi-inovasi ini menyebar ke seluruh dunia, sebagian besar melalui Jalur Sutra.  

Setiap peradaban mengembangkan cara unik untuk mencatat sejarah, hukum, dan pengetahuan. Majapahit menggunakan aksara yang diturunkan dari India (seperti Kawi atau Jawa Kuno) untuk menulis di atas daun lontar dan prasasti. Ini kontras dengan sistem tulisan paling awal di dunia, yaitu kuneiform Mesopotamia, yang menggunakan tanda berbentuk baji yang ditekan pada lempengan tanah liat, dan hieroglif Mesir, yang menggunakan gambar-gambar piktografik yang rumit. 

Peradaban Bidang Unggulan Contoh Inovasi Kunci Dampak Jangka Panjang
Majapahit Maritim & Hidrolik Kapal Jong, Candi Bata, Sistem Kanal Trowulan Penguasaan perdagangan maritim Nusantara; fondasi arsitektur bata di Asia Tenggara    
Romawi Rekayasa Sipil & Militer Akuaduk, Beton, Jalan Raya, Hukum Romawi Fondasi arsitektur, rekayasa, dan sistem hukum di dunia Barat    
Tiongkok (Han/Song) Manufaktur & Navigasi Kertas, Kompas Magnetik, Bubuk Mesiu, Percetakan Revolusi global dalam informasi, eksplorasi, dan peperangan    
India (Gupta) Matematika & Metalurgi Angka Nol, Sistem Desimal, Pilar Besi Delhi Fondasi matematika dan aljabar modern; metalurgi canggih    

 

Bab 9: Keyakinan yang Membentuk Peradaban

Agama dan sistem kepercayaan memainkan peran sentral dalam membentuk identitas, melegitimasi kekuasaan, dan mengarahkan kebijakan di kekaisaran-kekaisaran kuno. Cara setiap imperium mengelola lanskap keagamaannya yang beragam mengungkapkan strategi pemerintahannya yang lebih dalam. Secara umum, kekaisaran kuno menerapkan salah satu dari tiga pendekatan utama terhadap agama: integrasi, promosi, atau transformasi. Setiap pilihan ini memiliki konsekuensi mendalam bagi stabilitas dan warisan peradaban tersebut.

 

Model Toleransi Sinkretis Majapahit: Strategi Integrasi

Majapahit menerapkan strategi integrasi. Kerajaan ini tidak memaksakan satu agama tunggal, melainkan memadukan dua tradisi besar yang sudah ada—Hindu Siwa dan Buddha Mahayana—menjadi sebuah kultus negara yang sinkretis. Raja dianggap sebagai perwujudan dari kedua dewa tersebut, sebuah konsep yang secara efektif menghilangkan potensi persaingan teologis di tingkat elite. Pada saat yang sama, Majapahit menoleransi keberadaan komunitas agama lain, seperti Islam, dan membiarkan kepercayaan animisme lokal tetap hidup di kalangan rakyat. Pendekatan ini adalah sebuah bentuk pragmatisme politik yang bertujuan untuk menjaga stabilitas dalam masyarakat yang sangat majemuk.  

 

Penyebaran Agama sebagai Proyek Negara: Strategi Promosi

Berbeda dengan Majapahit, Kekaisaran Maurya di bawah Ashoka Agung (sekitar 268–232 SM) menerapkan strategi promosi. Setelah menyaksikan kengerian Perang Kalinga, Kaisar Ashoka memeluk agama Buddha dan menggunakan kekuatan negara secara aktif untuk menyebarkannya. Ia mengeluarkan maklumat-maklumat yang diukir pada pilar-pilar batu di seluruh kekaisarannya, yang berisi ajaran moral Buddha (Dhamma). Ashoka juga mengirimkan misi-misi keagamaan ke berbagai negara, termasuk Sri Lanka dan Asia Tenggara, mengubah Buddhisme dari sebuah sekte lokal menjadi agama dunia. Di sini, agama digunakan sebagai alat untuk reformasi moral dan kebijakan luar negeri, dengan tujuan menciptakan sebuah imperium yang bersatu di bawah filosofi etis yang sama. 

 

Transformasi Agama di Kekaisaran Romawi

Kekaisaran Romawi mengalami sebuah transformasi keagamaan yang dramatis. Awalnya, Romawi memiliki agama politeistik negara yang sangat terikat dengan tradisi dan identitas Romawi. Namun, seiring waktu, agama Kristen, yang pada awalnya dianggap sebagai sekte sesat dan pengikutnya dianiaya, menyebar luas di seluruh kekaisaran. Pada abad ke-4 M, melalui kebijakan Kaisar Konstantinus dan Theodosius, Kristen diadopsi sebagai agama resmi negara. Transformasi ini secara fundamental mengubah identitas budaya dan politik Romawi, di mana Gereja menjadi institusi yang sangat kuat dan tak terpisahkan dari negara. Perubahan ini didorong oleh gerakan populer dari bawah dan kalkulasi politik dari atas, yang mencari fondasi baru untuk menyatukan kekaisaran yang sedang mengalami krisis. 

 

Agama dan Perdagangan di Jalur Sutra

Jalur Sutra tidak hanya menjadi saluran bagi barang dagangan tetapi juga bagi ide-ide dan keyakinan. Rute perdagangan ini memainkan peran penting dalam penyebaran agama-agama besar. Buddhisme menyebar dari India ke Asia Tengah dan Tiongkok melalui para pedagang dan biksu yang melakukan perjalanan di sepanjang Jalur Sutra. Demikian pula, agama-agama seperti Kristen Nestorian, Maniisme, dan kemudian Islam, bergerak ke arah timur, menciptakan kantong-kantong komunitas keagamaan yang beragam di kota-kota oasis di sepanjang rute tersebut. Dalam konteks ini, penyebaran agama lebih bersifat organik, didorong oleh interaksi komersial dan budaya, bukan oleh kebijakan negara yang terpusat.  

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top