Imperium Nusantara – Kerajaan Majapahit (1293–1527 M)

Kelahiran Sang Imperium dari Api Pemberontakan dan Invasi

Kelahiran Kerajaan Majapahit bukanlah sebuah peristiwa tunggal yang damai, melainkan puncak dari manuver politik yang kompleks, lahir dari puing-puing pengkhianatan internal dan eksploitasi oportunistik terhadap geopolitik kawasan. Fondasinya dibangun di atas keruntuhan dinasti sebelumnya dan keberhasilan mengusir salah satu kekuatan militer terbesar di dunia pada masanya.

 

Konteks Keruntuhan Singasari

Majapahit tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan dari fragmentasi politik spesifik pendahulunya, Kerajaan Singasari. Pada akhir abad ke-13, Raja Kertanegara dari Singasari disibukkan dengan ambisi ekspansionis yang menguras kekuatan militer kerajaan. Situasi ini dimanfaatkan oleh Jayakatwang, seorang penguasa bawahan dari Kediri, yang melancarkan pemberontakan. Dengan taktik pengalihan yang cerdik, Jayakatwang berhasil menyerbu ibu kota Singasari yang minim pertahanan, menewaskan Kertanegara, dan meruntuhkan kerajaan tersebut. Peristiwa ini menciptakan kekosongan kekuasaan dan memaksa para loyalis Singasari, termasuk menantu Kertanegara, Raden Wijaya, untuk melarikan diri.

Rekomendasi situs tempat bermain slot terpercaya.

Manuver Politik Raden Wijaya

Dalam posisi sebagai seorang buronan, Raden Wijaya menunjukkan kecerdasan politik yang luar biasa. Ia melarikan diri ke arah timur dan menjalin aliansi strategis dengan Arya Wiraraja, penguasa Sumenep (Madura). Dengan bimbingan Arya Wiraraja, Wijaya menerapkan siasat brilian: ia berpura-pura menyerah dan mengabdikan diri kepada Jayakatwang. Taktik ini berhasil, dan Jayakatwang, tanpa curiga, memberinya sebidang tanah di Hutan Tarik. Di sinilah Raden Wijaya mulai membangun basis kekuatan baru, mengubah hutan belantara menjadi sebuah desa yang berkembang.   

Memanfaatkan Invasi Mongol

Kesempatan emas bagi Raden Wijaya tiba dalam bentuk armada invasi dari Dinasti Yuan (Mongol) yang dikirim oleh Kaisar Kubilai Khan. Tujuan awal ekspedisi ini adalah untuk menghukum Kertanegara dari Singasari yang telah menghina utusan Mongol sebelumnya. Namun, setibanya di Jawa, mereka menemukan bahwa target mereka telah tewas dan Singasari telah runtuh. Raden Wijaya dengan cerdik memanfaatkan situasi ini. Ia menawarkan aliansi kepada pasukan Mongol, mengarahkan kekuatan militer eksternal yang tangguh ini untuk menghancurkan musuh internalnya, Jayakatwang di Kediri. Setelah Jayakatwang berhasil dikalahkan, Wijaya melancarkan serangan kejutan terhadap pasukan Mongol yang telah kelelahan dan tidak akrab dengan medan setempat, memaksa mereka untuk meninggalkan Jawa.  

Kemenangan ganda ini—mengalahkan rival internal dan mengusir kekuatan asing yang ditakuti—memberikan legitimasi yang sangat kuat bagi Raden Wijaya. Pendirian Majapahit dengan demikian bukanlah sekadar tindakan penciptaan, melainkan hasil dari permainan catur politik yang rumit. Kerajaan ini lahir dari kegagalan Dinasti Singasari dan eksploitasi ambisi imperial Dinasti Yuan. Fondasinya bersifat paradoksal: ia dimungkinkan oleh invasi asing yang kemudian dirayakan karena berhasil diusir. Ini mengubah mitos pendirian dari sekadar kisah perlawanan heroik menjadi narasi yang lebih bernuansa tentang manuver politik yang canggih.

 

Pendirian Majapahit

Di Hutan Tarik, para pengikut Raden Wijaya menemukan buah maja yang memiliki rasa pahit, yang kemudian menjadi asal-usul nama desa baru mereka, Majapahit. Lokasi ini dipilih secara strategis di dekat delta Sungai Brantas, sebuah keputusan yang akan memiliki implikasi geografis dan ekonomi yang signifikan di masa depan. Pada tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 Saka, atau 10 November 1293 M, Raden Wijaya secara resmi dinobatkan sebagai raja pertama Majapahit dengan gelar Sri Kertarajasa Jayawardhana. Momen ini menandai lahirnya sebuah imperium yang akan mendominasi Nusantara selama lebih dari dua abad. 

Nama Raja dan Gelar Anumerta Periode Pemerintahan (Masehi) Peristiwa atau Kontribusi Signifikan
Raden Wijaya / Kertarajasa Jayawardhana 1293–1309 Pendiri kerajaan; memukul mundur pasukan Mongol; menghadapi pemberontakan awal (misalnya, Ranggalawe)    
Kalagamet / Jayanagara 1309–1328 Masa pemerintahan yang penuh gejolak; menghadapi serangkaian pemberontakan (misalnya, Kuti); diselamatkan oleh Gajah Mada    
Sri Gitarja / Tribhuwana Wijayatunggadewi 1328–1350 Ratu yang memulihkan stabilitas; mengangkat Gajah Mada sebagai Mahapatih; Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa    
Hayam Wuruk / Sri Rajasanagara 1350–1389 Puncak zaman keemasan Majapahit; ekspansi wilayah Nusantara; perkembangan pesat dalam sastra, seni, dan arsitektur    
Wikramawardhana 1389–1429 Awal kemunduran; terlibat dalam Perang Paregreg melawan Bhre Wirabhumi    
Suhita / Dyah Ayu Kencana Wungu 1429–1447 Ratu yang memerintah di tengah kemunduran politik; memimpin eksekusi terhadap Raden Gajah (pembunuh Bhre Wirabhumi)    
Kertawijaya / Brawijaya I 1447–1451 Memulai penggunaan gelar Brawijaya; hubungan dengan kerajaan-kerajaan Islam di pesisir mulai menguat    
Rajasawardhana / Brawijaya II 1451–1453 Masa pemerintahan yang singkat; kekuasaan pusat terus melemah    
Purwawisesa / Girishawardhana / Brawijaya III 1456–1466 Terjadi kekosongan takhta selama tiga tahun (1453-1456) sebelum pemerintahannya  
Bhre Pandansalas / Suraprabhawa / Brawijaya IV 1466–1468 Masa pemerintahan yang sangat singkat di tengah meningkatnya konflik internal   
Bhre Kertabumi / Brawijaya V 1468–1478 Dianggap sebagai raja terakhir Majapahit dalam beberapa tradisi; dikalahkan oleh Girindrawardhana    
Girindrawardhana / Brawijaya VI 1478–1489 Merebut takhta dari Bhre Kertabumi; ibu kota dipindahkan ke Daha (Kediri)    
Patih Udara / Brawijaya VII 1489–1527 Penguasa terakhir Majapahit di Daha; kerajaan runtuh akibat serangan Kesultanan Demak   

 

Era Keemasan di Bawah Dwitunggal Hayam Wuruk dan Gajah Mada

Puncak kejayaan Majapahit, yang sering disebut sebagai zaman keemasan, terjadi pada pertengahan abad ke-14. Era ini tidak dibentuk oleh satu tokoh tunggal, melainkan oleh kemitraan dinamis antara dua figur sentral: Raja Hayam Wuruk, sang penguasa berdaulat, dan Mahapatih Gajah Mada, sang arsitek politik. Keduanya membentuk dwitunggal (dualisme) kekuasaan yang mendorong imperium ke puncak pengaruhnya, meskipun hubungan mereka tidak selamanya harmonis.

 

Kepemimpinan Hayam Wuruk (Sri Rajasanagara)

Naik takhta pada usia muda, 16 tahun, pada 1350 M, Hayam Wuruk (bergelar Sri Rajasanagara) memimpin Majapahit selama 39 tahun hingga wafatnya pada 1389 M. Pemerintahannya ditandai oleh stabilitas internal, kemakmuran ekonomi, dan pencapaian budaya yang luar biasa, yang sebagian besar diabadikan dalam kakawin    

 

Visi Gajah Mada dan Sumpah Palapa

Sementara Hayam Wuruk menyediakan otoritas kerajaan, Gajah Mada adalah kekuatan eksekutif di baliknya. Kariernya menanjak setelah berhasil memadamkan pemberontakan berbahaya yang dipimpin oleh Ra Kuti pada 1319 M, di mana ia menyelamatkan Raja Jayanagara. Atas jasanya, ia akhirnya diangkat menjadi Mahapatih Amangkubhumi pada 1336 M, pada masa pemerintahan Ratu Tribhuwana Tunggadewi, ibunda Hayam Wuruk.   

Pada saat pelantikannya, Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang legendaris, Sumpah Palapa. Sumpah ini bukanlah sekadar janji pribadi, melainkan sebuah deklarasi politik yang kuat mengenai visinya untuk menyatukan seluruh Nusantara di bawah pengaruh Majapahit. Dengan menyebutkan wilayah-wilayah seperti Gurun (Lombok), Seran (Seram), Tanjung Pura (Kalimantan), Haru (Sumatra Utara), Pahang (Semenanjung Malaya), Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik (Singapura), ia menetapkan peta jalan ambisius bagi ekspansi imperium.   

Ekspansi dan Diplomasi

Untuk mewujudkan Sumpah Palapa, Gajah Mada menerapkan strategi ganda. Di satu sisi, ia memimpin ekspedisi militer untuk menaklukkan wilayah-wilayah yang dianggap strategis atau menentang hegemoni Majapahit. Penaklukan Bali pada 1343 M dan serangan terhadap Kesultanan Samudera Pasai sekitar 1350 M adalah contoh dari pendekatan militeristik ini. Di sisi lain, Majapahit juga menjalankan kebijakan luar negeri yang canggih yang dikenal sebagai Mitreka Satata, yang berarti persahabatan berdasarkan prinsip kesetaraan. Politik ini diterapkan dalam hubungannya dengan negara-negara sahabat seperti Tiongkok, Campa (Vietnam), Kamboja, dan Siam (Thailand), yang ditandai dengan pertukaran utusan dan hubungan dagang yang saling menguntungkan. 

Tantangan Internal: Pemberontakan Awal

Meskipun zaman keemasan identik dengan stabilitas, jalan menuju ke sana tidaklah mulus. Awal berdirinya kerajaan hingga masa-masa awal pemerintahan Hayam Wuruk diwarnai oleh serangkaian pemberontakan yang mengancam eksistensi dinasti. Pemberontakan oleh Ranggalawe (1295), Lembu Sora, dan Ra Kuti (1319) merupakan ujian berat bagi ketahanan Majapahit. Keberhasilan Gajah Mada dalam menumpas pemberontakan-pemberontakan inilah yang memperkuat posisinya dan menstabilkan kerajaan, membuka jalan bagi era keemasan yang akan datang.   

Kemitraan antara Hayam Wuruk dan Gajah Mada, meskipun simbiosis, tidak luput dari ketegangan. Peristiwa Perang Bubat pada 1357 M menjadi bukti adanya keretakan dalam hubungan mereka. Ambisi Gajah Mada untuk menuntut Kerajaan Sunda tunduk sebagai vasal—sebagai syarat pernikahan Raja Hayam Wuruk dengan Putri Dyah Pitaloka—bertentangan dengan niat Hayam Wuruk yang menginginkan aliansi pernikahan yang setara. Salah tafsir ini berujung pada tragedi berdarah di Lapangan Bubat, di mana seluruh rombongan Kerajaan Sunda tewas. Peristiwa ini sangat disesalkan oleh Hayam Wuruk dan menyebabkan hubungan antara raja dan mahapatihnya mendingin, meskipun mereka tetap bekerja sama. Dualisme kepemimpinan ini, yang menjadi sumber kekuatan terbesar Majapahit, juga menyimpan benih konflik yang pada akhirnya turut berkontribusi pada kemundurannya.   

Rekomendasi situs tempat bermain slot terpercaya.

Bab 3: Poros Maritim Dunia: Ekonomi dan Perdagangan Majapahit

Kekuatan Majapahit tidak hanya terletak pada kekuatan militer atau kepemimpinan yang visioner, tetapi juga pada fondasi ekonominya yang kokoh. Imperium ini berhasil memadukan dua pilar ekonomi yang saling menopang: basis agraris yang subur di pedalaman dan kekuatan maritim yang dominan di lautan. Kemampuan Majapahit untuk mengintegrasikan kedua sektor ini, yang dimungkinkan oleh geografi uniknya, menjadikannya salah satu pusat perdagangan terpenting di dunia pada abad ke-14.

 

Fondasi Agraris-Maritim

Pusat pemerintahan Majapahit di Trowulan terletak di pedalaman, di lembah Sungai Brantas yang sangat subur. Wilayah ini mampu menghasilkan surplus beras dan komoditas pertanian lainnya, yang menjamin ketahanan pangan kerajaan dan menjadi komoditas ekspor yang penting. Namun, yang membuat Majapahit unik adalah kemampuannya untuk tidak hanya menjadi kerajaan agraris, tetapi juga imperium maritim yang tangguh. Sungai Brantas berfungsi sebagai arteri ekonomi utama, menghubungkan jantung agraris di pedalaman dengan jalur perdagangan global di Laut Jawa. Dengan demikian, geografi menjadi takdir bagi Majapahit; sungai menyatukan dua pilar ekonominya, memungkinkan kerajaan untuk memproyeksikan kekuatan jauh melampaui apa yang bisa dicapai oleh kerajaan yang murni berbasis daratan atau pesisir.   

 

Kekuatan Armada Laut

Majapahit membangun armada laut yang besar dan kuat, yang menjadi tulang punggung kekuatan militernya. Kapal-kapal andalannya, seperti  jong, adalah kapal layar besar yang mampu mengangkut ratusan prajurit dan muatan logistik dalam jumlah besar. Kapal-kapal ini dibangun dengan teknologi canggih pada masanya, menggunakan teknik pasak kayu alih-alih paku besi, yang membuatnya lebih fleksibel dan tahan terhadap benturan. Armada laut ini memiliki peran ganda: sebagai alat ekspansi militer, pelindung jalur perdagangan dari ancaman bajak laut, dan penjamin kedaulatan Majapahit di seluruh perairan Nusantara. Kekuatan angkatan laut Majapahit begitu melegenda sehingga semboyannya, Jalesveva Jayamahe (“Di Laut Kita Jaya”), diadopsi oleh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) di era modern.  

Jaringan Pelabuhan Strategis

Untuk mendukung aktivitas maritimnya, Majapahit mengembangkan jaringan pelabuhan yang sangat terorganisir. Pelabuhan-pelabuhan sungai seperti Canggu, Terung, dan Bubat di sepanjang Sungai Brantas menjadi titik transit vital yang menghubungkan ibu kota Trowulan dengan dunia luar. Di pesisir utara Jawa, pelabuhan-pelabuhan seperti Tuban, Gresik, dan Surabaya berkembang menjadi pusat perdagangan internasional yang ramai. Catatan dari penjelajah Tiongkok seperti Ma Huan menggambarkan pelabuhan-pelabuhan ini sebagai kota kosmopolitan yang dipenuhi oleh pedagang dari berbagai bangsa, termasuk Tiongkok, India, Kamboja, dan Siam, yang memperdagangkan beragam barang.  

 

Penguasaan Jalur Rempah

Puncak kekuatan ekonomi Majapahit terletak pada kontrolnya atas jalur rempah-rempah yang sangat vital. Kerajaan ini menguasai rute perdagangan strategis yang menghubungkan kepulauan Maluku—sumber utama cengkeh dan pala—dengan pelabuhan-pelabuhan di Jawa dan selanjutnya ke Selat Malaka, gerbang menuju pasar internasional di India, Timur Tengah, dan Eropa. Dengan memonopoli perdagangan komoditas yang paling dicari di dunia saat itu, Majapahit mengumpulkan kekayaan yang luar biasa dan memperoleh pengaruh geopolitik yang sangat besar.  

Komoditas dan Mata Uang

Selain rempah-rempah, Majapahit juga memperdagangkan komoditas lain seperti beras, lada, kayu cendana, intan, dan besi. Sebagai imbalannya, para pedagang asing membawa barang-barang mewah seperti keramik dan kain sutra dari Tiongkok, serta tekstil dari India. Untuk memfasilitasi perdagangan, Majapahit menggunakan mata uang berupa koin tembaga lokal, yang dikenal sebagai  gobog, serta koin-koin tembaga dari berbagai dinasti Tiongkok yang beredar luas di kawasan tersebut.  

 

Bab 4: Struktur Masyarakat Majemuk dan Toleransi Beragama

Di balik kekuatan militer dan ekonomi Majapahit, terdapat sebuah struktur sosial dan birokrasi yang kompleks serta lanskap keagamaan yang unik. Kemampuan kerajaan untuk mengelola masyarakat yang majemuk dan menumbuhkan budaya toleransi menjadi salah satu pilar utama stabilitasnya. Toleransi yang termasyhur di Majapahit, yang diabadikan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika, bukanlah sekadar cita-cita filosofis, melainkan sebuah strategi politik yang pragmatis. Dengan mengakomodasi berbagai keyakinan, negara meminimalkan potensi gesekan agama yang dapat memicu pemberontakan, sehingga memastikan stabilitas yang diperlukan untuk memerintah kepulauan yang luas dan multikultural.

 

Birokrasi Pemerintahan

Struktur pemerintahan Majapahit sangat teratur dan hierarkis, menunjukkan adanya negara yang terorganisir dengan baik. Di puncak hierarki adalah raja, yang dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan memegang otoritas politik tertinggi. Dalam menjalankan pemerintahannya, raja dibantu oleh serangkaian dewan dan pejabat tinggi. Dewan pertimbangan agung kerajaan, yang terdiri dari kerabat dekat raja, dikenal sebagai Bhattara Saptaprabhu. Badan eksekutif inti adalah  Sang Panca ri Wilwatikta (Dewan Lima di Wilwatikta/Majapahit), yang terdiri dari lima menteri utama: patih, demung, kanuruhan, rangga, dan tumenggung. Di antara mereka, Patih Amangkubhumi (Perdana Menteri), seperti Gajah Mada, memegang kekuasaan eksekutif tertinggi setelah raja. Selain itu, terdapat pula dewan Rakryan Mahamantri Katrini yang biasanya dijabat oleh putra-putra raja, serta pejabat-pejabat khusus yang mengurusi urusan keagamaan dan hukum, yang disebut Dharmmadhyaksa.  

 

Struktur Sosial

Masyarakat Majapahit terbagi secara hierarkis, kemungkinan besar mengadopsi sistem kasta Hindu yang disesuaikan dengan konteks lokal Jawa, yang terdiri dari golongan Brahmana (pendeta), Ksatria (bangsawan dan prajurit), Waisya (pedagang dan pengrajin), dan Sudra (petani dan rakyat jelata). Golongan elite, termasuk keluarga kerajaan, bangsawan, dan pejabat tinggi, tinggal di ibu kota Trowulan, yang merupakan pusat kota besar yang tertata rapi dengan berbagai fasilitas publik.   

 

Sinkretisme Siwa-Buddha

Agama resmi yang dianut oleh kalangan elite Majapahit adalah bentuk sinkretisme unik antara Hindu aliran Siwa dan Buddha aliran Mahayana. Kedua agama ini tidak dianggap sebagai dua keyakinan yang terpisah, melainkan sebagai dua jalan menuju kebenaran yang sama. Raja sering kali dianggap sebagai titisan Siwa sekaligus Buddha. Fusi teologis ini merupakan ciri khas kebudayaan Majapahit dan menjadi faktor kunci dalam menjaga harmoni keagamaan internal di tingkat elite.   

 

Kehadiran Islam dan Kepercayaan Lokal

Salah satu bukti paling kuat dari toleransi Majapahit adalah keberadaan komunitas agama lain di jantung kerajaannya. Penemuan kompleks pemakaman Islam di Troloyo, tidak jauh dari pusat ibu kota, dengan nisan-nisan yang berasal dari abad ke-14 dan ke-15, menunjukkan bahwa komunitas Muslim yang signifikan hidup dan beraktivitas secara damai di dalam kerajaan Hindu-Buddha. Selain itu, di bawah lapisan agama-agama besar ini, kepercayaan animisme dan dinamisme asli Nusantara, seperti pemujaan terhadap roh nenek moyang, tetap hidup dan berkembang kuat di semua lapisan masyarakat. Kerajaan tampaknya tidak menekan kepercayaan-kepercayaan ini, melainkan membiarkannya hidup berdampingan.  

Rekomendasi situs tempat bermain slot terpercaya.

Kelahiran Bhinneka Tunggal Ika

Puncak dari filosofi toleransi Majapahit tertuang dalam sebuah karya sastra agung, Kakawin Sutasoma, yang digubah oleh Mpu Tantular pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Di dalam kakawin inilah terdapat kalimat yang sangat terkenal: “Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa“. Dalam konteks aslinya, kalimat ini adalah sebuah pernyataan teologis yang berarti “Berbeda-beda itu, satu jualah itu, tidak ada kebenaran yang mendua,” yang merujuk pada hakikat Siwa dan Buddha yang pada dasarnya adalah satu. Namun, makna yang terkandung di dalamnya memiliki implikasi yang jauh lebih luas, yaitu sebagai landasan filosofis untuk mengelola sebuah imperium yang multikultural dan multi-religi, sebuah warisan yang kemudian diadopsi sebagai semboyan nasional Indonesia modern.   

Warisan Majapahit tidak hanya tercatat dalam sejarah politik dan ekonomi, tetapi juga terukir abadi dalam bentuk peninggalan fisik dan budaya yang monumental. Karya-karya arsitektur, sastra, dan seni rupa yang dihasilkan pada masa keemasannya bukan sekadar ekspresi artistik, melainkan proyek-proyek yang disponsori negara, dirancang untuk melegitimasi kekuasaan, mengkodifikasi pandangan dunia imperium, dan menciptakan catatan sejarah yang tahan lama. Dengan kata lain, warisan Majapahit sebagian besar merupakan sebuah konstruksi yang disengaja, di mana budaya digunakan sebagai alat untuk memproyeksikan kekuasaan di masa kini dan memastikan kisahnya akan terus dikenang di masa depan.

Arsitektur dan Tata Kota Trowulan

Situs arkeologi di Trowulan, Mojokerto, diyakini sebagai lokasi ibu kota Majapahit, sebuah pusat kota yang canggih pada masanya. Penggalian arkeologis mengungkap adanya tata kota yang terencana dengan baik, ditandai oleh penggunaan material bata merah secara ekstensif, jaringan kanal dan sistem pengelolaan air yang kompleks, seperti Kolam Segaran yang luas dan Candi Tikus yang berfungsi sebagai petirtaan (pemandian suci). Bangunan-bangunan monumental seperti Gapura Bajang Ratu (sebuah gerbang paduraksa) dan Gapura Wringin Lawang (sebuah gerbang candi bentar) menjadi saksi bisu keagungan arsitektur Majapahit, yang memadukan fungsi praktis dengan makna simbolis yang mendalam.  

 

Puncak Kesusastraan Jawa Kuno

Zaman keemasan Majapahit juga merupakan puncak perkembangan kesusastraan Jawa Kuno, yang ditulis di atas daun lontar. Karya yang paling menonjol adalah Kakawin Nagarakertagama, yang selesai digubah pada tahun 1365 M oleh Mpu Prapanca, seorang pejabat urusan agama Buddha di istana. Kakawin ini merupakan sumber sejarah yang tak ternilai, memberikan gambaran terperinci—meskipun bersifat pujasastra dan cenderung mengidealkan—tentang kerajaan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, termasuk daftar wilayah kekuasaan, struktur birokrasi, perjalanan raja, dan upacara-upacara keagamaan. Karya sastra penting lainnya termasuk Kakawin Sutasoma oleh Mpu Tantular, yang menjadi sumber semboyan nasional Indonesia; Kakawin Arjunawijaya; serta kitab-kitab sejarah naratif seperti Pararaton, yang meskipun mengandung unsur mitos, tetap memberikan wawasan penting tentang sejarah raja-raja Singasari dan Majapahit.   

 

Seni Rupa dan Peninggalan Arkeologis

Pencapaian artistik Majapahit terlihat jelas pada beragam artefak yang ditemukan. Seni terakota (tanah liat bakar) mencapai tingkat kehalusan yang tinggi, menghasilkan berbagai macam arca, miniatur rumah, dan celengan (tabungan) berbentuk babi yang khas. Seni pahat batu juga berkembang dengan gaya yang unik, sering kali ditandai dengan adanya “sinar Majapahit” atau garis-garis yang memancar di sekeliling figur, serta relief melingkar yang dikenal sebagai “Surya Majapahit”. Selain itu, ratusan prasasti (inskripsi batu atau logam) telah ditemukan, seperti Prasasti Kudadu dan Prasasti Canggu, yang berfungsi sebagai dokumen hukum primer yang mencatat peristiwa sejarah, penetapan tanah perdikan (bebas pajak), dan peraturan-peraturan kerajaan.   

 

Warisan Budaya Tak Benda

Pengaruh Majapahit tidak berakhir dengan keruntuhannya. Warisan budayanya terus hidup dan diadaptasi oleh peradaban-peradaban berikutnya di Nusantara. Banyak aspek tata kelola pemerintahan, sistem hukum, dan struktur sosial Majapahit yang diwarisi oleh kesultanan-kesultanan Islam yang muncul setelahnya, terutama di Jawa. Pengaruh yang paling kuat dan lestari dapat dilihat di Bali, yang menjadi benteng pelestarian budaya Hindu-Jawa pasca-Majapahit. Sistem sosial, seni, arsitektur, dan praktik keagamaan di Bali saat ini banyak yang berakar langsung dari tradisi Majapahit. Berbagai bentuk seni, seperti wayang kulit dan gamelan, serta tradisi sastra, terus berkembang dengan napas yang diilhami oleh zaman keemasan Majapahit.   

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top